Deteksi Gangguan Pendengaran pada Anak
Pentingnya deteksi sedini mungkin agar dapat dilakukan intervensi penanggulangan gangguan pendengaran pada anak
Disusun oleh Ervina
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Berbeda dengan keadaan cacat tubuh yang lain, cacat dengar pada anak tidak terlihat dengan jelas. Gangguan dengar pada anak dapat menyebabkan gangguan dalam berbahasa, baik untuk menerima maupun menyampaikan pesan yang selanjutnya mengakibatkan gangguan sosialisasi dan gangguan emosional. pendengaran lebih dari 40 desibel (dB) pada dewasa dan lebih dari 30 dB pada anak. Definisi gangguan pendengaran adalah penurunan pendengaran lebih dari 40 dB pada dewasa dan lebih dari 30 dB pada anak.
Keterlambatan dalam diagnosis berarti pula terdapat keterlambatan untuk memulai intervensi dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan selanjutnya. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir dapat menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan eleki reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana. Tes pendengaran pada anak tidak bisa ditunda hanya dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran. Tes pendengaran secara obyektif dibidang audiologi dengan peralatan elektrofisiologik sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit seperti ABR, ASSR, elektroakustik imitans dan OAE yang sangat berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran secara dini tidak tergantung usia.
Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Di negara maju program skrining pendengaran sudah dimulai sejak bayi berusia 2 hari atau sebelum keluar dari rumah sakit. Program ini dilanjutkan dengan pemeriksaa pendengaran ulangan pada usia 1 bulan. Untuk bayi yang tidak lulus skrining harus melakukan pemeriksaan ulang pada usia 3 bulan. Gangguan pendengaran pada bayi sudah harus dipastikan pada usia 3 bulan, sehingga bila diketahui bayi mengalami ketulian, upaya habilitasi sudah dapat dimulai pada saat usia 6 bulan. Dengan memastikan ketulian pada usia 3 bulan dan memberikan habilitasi yang memadai diharapkan pada usia 36 bulan perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak yang pendengarannya normal. Di Indonesia beberapa rumah sakit telah menjalankan program skrining pendengaran namun masih bersifat sukarela. Sayangnya tidak semua rumah sakit yang menjalankan program tersebut memiliki fasilitas yang memadai untuk pemeriksaan pendengaran lanjutan. Kendala lainnya adalah belum semua orang tua memahami maksud skrining pendengaran bayi sehingga tidak melalukan pemeriksaan lanjutan.
Untuk bayi yang lulus skrining pendengaran, dengan perkataan lain pendengarannya baik, tetap harus dilakukan evaluasi berkala. Karena pada bayi yang lebih besar atau anak, dapat terjadi risiko lain seperti infeksi telinga tengah, trauma ataupun terpapar dengan suara keras (bising). Berdasarkan pertimbangan tersebut lakukan pemeriksaan pendengaran berkala pada usia 4, 5, 6, 8 10, 12, 15 dan 18 tahun; ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan pendengaran.2 Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry, visual re-inforcement audiometry) dan tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik (Auditory brainstem response/ABR, Auditory Steady State Response/ASSR, Otoacoustic Emission / OAE)
Sumber :
Azwar. (2013). Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Anak, Jurnal kedokteran syiah kuala, Vol.13(1).
Martini. E., Probandari. A., Pratiwi D & Sumardiyono. (2017). Skrining dan edukasi gangguan pendengaran pada Anak Sekolah, IJMS – Indonesian Journal On Medical Science. Fakultas Kedoteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol 4(1).